Begitu yang diucapkan ayah saya suatu ketika. Saya lupa pada saat apa kami ngobrol (dan ngobrolin apa) yang pada akhirnya terlontar kalimat itu dari beliau.
Saya menyadari, yang kita perlukan hanya rasa cukup.
Ya, jika kita sudah mencukupkan diri kita, maka yang timbul seharusnya adalah rasa syukur.
Jika kita tidak pernah merasa cukup, mungkin kita tidak belajar bagaimana bersyukur.
Tetapi kaya pun bukan dosa.
Kalo kaya karena korupsi atau menghalalkan cara apapun demi kaya, itu baru dosa. Karena pelanggaran-pelanggaran yang menghasilkan kekayaan semu itulah yang berdosa.
Kaya bukan dosa. Karena memang ada orang-orang yang diberi anugerah untuk mengelola harta yang lebih itu. Setiap orang memiliki bagiannya.
Tapi saya mengerti yang dimaksudkan ayah saya waktu itu. Jangan meminta (atau berdoa) agar kita kaya (harta). Mintalah yang secukupnya untuk kita.
Motivasi untuk menjadi kaya, biasanya timbul akibat ketertarikan pada hal-hal di luar esensinya.
Motivasi untuk menjadi kaya, biasanya disusul dengan pengabaian hal-hal yang penting demi mengejar kekayaan itu sendiri.
Kita perlu secukupnya. Kelebihan itu biarlah menjadi urusan Tuhan.
Jika kita diberi lebih, artinya kita diberi kelimpahan. Itu anugerah dari-Nya.
Kelebihan itulah yang membuat merasa kaya. Kelebihan itulah yang dituntut pertanggungjawabannya, apakah dinikmati sendiri, atau dibagikan kepada orang yang (benar-benar) membutuhkan?
Kalau melihat daftar orang-orang terkaya di dunia, kita pasti juga mendengar atau membaca juga bagaimana mereka mendermakan kekayaannya untuk kesejahteraan orang lain.
Ya, karena jika kita diberi lebih, maka kelebihan itu adalah sarana kita untuk memberi, bukan menyimpan atau mengambil sendiri.
Jika kita diberi lebih, Tuhan melihat tanggapan kita. Pantaskah kita mengambil seluruhnya tanpa menyalurkan kelebihan itu pada sesama yang membutuhkan?
Tentu saja, ini juga pelajaran yang berharga untuk saya.
Di tengah-tengah tuntutan ekonomi yang sedemikian tidak mudah, pasti pernah terlintas dalam pikiran kita, "Seandainya saya jadi orang kaya,...."
Tapi, seharusnya kita belajar berpikir, bahwa kita pun bisa memberi dalam kekurangan (dan saya sering melihat & merasakan orang-orang yang demikian).
Apalagi kita yang memiliki kecukupan, syukurilah. Pasti kita juga bisa memberi.
Dan jika kita kaya, bersyukurlah juga sambil terus memberi kembali pada sesama/alam, mendermakan kekayaan itu untuk kesejahteraan bersama.
Tunggu.. kalau saya masih ingin bekerja keras, apakah itu tandanya saya ingin menjadi kaya?
Tergantung. Kaya itu relatif.
Anda bisa bilang bahwa yang namanya kaya itu orang yang punya banyak uang (sebanyak apa juga relatif kan?), orang yang punya banyak rumah, mobil, hotel, kapal, dan aset-aset lainnya, orang yang tidak pernah dipusingkan dengan biaya hidup sehari-hari,
Saya pernah berniat menjadi kaya. Masa Anda nggak, sih?? *gakpercaya,hihi.
Tapi, kaya secara materi menjadi relatif, jika kita ingin membahagiakan orang-orang di sekitar kita, diawali dari keluarga maupun komunitas tempat kita tinggal.
Kekayaan harta yang saya rindukan adalah untuk mengerjakan kebaikan-kebaikan :
dari hal kecil saja misalnya untuk menolong jika ada keluarga yang kekurangan, untuk memberikan pendidikan bagi anak.
Bahkan jika kita punya lebih lagi, kita dapat menolong anak-anak terlantar, mendirikan sekolah, lembaga, atau institusi dalam komunitas agar berkembang, memberdayakan masyarakat, mengedukasi masyarakat, dan lain-lain.
Dan tentu saja, setiap kita diberi bakat dan talenta untuk menjadikan diri kita 'kaya', tergantung bagaimana kita melihat kekayaan itu sendiri.
Jadi, setiap kerja, usaha, tetes keringat dan air mata yang dicurahkan untuk menghasilkan sesuatu bagi diri sendiri maupun keluarga, menjadi suatu makna yang indah bagi hidup kita.
Proses menghasilkan dan memberi tidak dapat berhenti. Mereka itu satu paket.
Sama dengan ketika kita menerima, kita pasti ingin memberi. :)
Selamat berkarya, selamat menghasilkan, selamat menjadi 'kaya', lalu selamat membagi.